top of page

80's Indonesian Pop : Gak Ada Matinya

Suatu siang, saya datang ke indekos teman saya untuk sekedar mampir ngobrol atau (kalau ada waktu) menonton film blockbuster yang entertaining dari situs streaming. Saat teman saya membuka pintu kamarnya, rupanya musik yang ia putar dari akun Spotify di laptop miliknya belum dimatikan. Namun, ada yang berbeda dari lagu yang diputar itu. Terdengar seperti lagu dari band legendaris tahun 70-80an, Earth, Wind, and Fire, dengan paduan vokal pria yang kalau didengar- dengar mirip dengan Glenn Fredly.


Hari ini hari ini Aku mencoba berdiri dan melangkah lagi Bila esok sinar mentari pagi kan bersinar lagi Aku kan menuju cita-cita yang pasti


"Kayak tau ni lagu," ujar saya. "Tapi siapa (yang nyanyi), ya?" "Lagu zaman mama- mama kita SMA, deh, kalau gak salah," katanya sambil tersenyum. Ia pun membuka laptopnya. Saya melirik ke arah layar laptopnya, lalu saya sadar. Ini suara Utha Likumahuwa, dengan lagu berjudul Sesaat Kau Hadir yang dulu kerap diputar oleh ibu saya, sebelum akhirnya beliau jatuh cinta (kembali) dengan Ari Lasso.


Tahun 2019 ini memang menjadi bangkitnya hal- hal yang berkaitan dengan tahun 80an. Mulai dari mode busana, yang identik dengan kaos oblong dimasukkan ke dalam jins high-waisted. Pembuatan kembali (dengan penyesuaian) film- film yang pada tahun 80an mencapai kesuksesan besar, seperti Pengabdi Setan (1980), Bernapas Dalam Kubur dan Ratu Ilmu Hitam (1981). Sampai kemunculan disc jockey yang secara khusus memutarkan lagu- lagu 80-90an seperti Diskoria, The Megahits Selection, atau Diskopantera.


(Kaset- kaset pita lagu- lagu 80an)


Menurut David Tarigan, seorang sejarawan musik, dilansir dari serial Indopop dari Vice Indonesia, lagu- lagu di tahun 80an ini terdorong dari masuknya aliran rock progresif ke Indonesia. Saat itu, anak- anak muda Indonesia bosan dengan lagu- lagu di tahun 70an yang dikuasai oleh Koes Bersaudara dengan adaptasi dari lagu- lagu Bee Gees dan dipadukan dengan aliran melayu. Awalnya, memang banyak yang menyukai. Namun, di awal tahun 80an, anak- anak muda jenuh dengan musiknya yang cenderung mendayu- dayu. Mereka menginginkan sesuatu yang berbeda. Lalu muncullah film Saturday Night Fever yang dibintangi oleh John Travolta. Anak- anak muda Indonesia menyambutnya dengan penuh antusias.


Antusiasme anak muda Indonesia terhadap musik upbeat ini akhirnya direpresentasikan oleh Gank Pegangsaan. Mereka adalah kumpulan musisi muda yang menjadi legenda di tahun 80-90an, yang diantaranya beranggotakan Fariz RM, Chrisye, Yockie Suryoprayogo, Guruh Soekarno Putra, Keenan Nasution, Debby Nasution, dan Ronny Harahap. Selain Gank Pegangsaan, ada juga band bentukan musisi Chandra Darusman yang pada saat itu masih berstatus mahasiswa di Universitas Indonesia, yaitu Chaseiro. Hanya saja, Gank Pegangsaan cenderung beraliran disko, sedangkan Chaseiro khas dengan jazz-nya.


(Badai Band, salah satu member dari Gank Pegangsaan)


Di akhir dekade 2010 ini, terkesan mirip dengan apa yang terjadi pada anak- anak muda tahun 80an; jenuh dan bosan. Kami sebagai anak- anak muda Indonesia, jenuh dengan lagu- lagu elektro dance yang merajai selama beberapa tahun terakhir. Namun, ada yang unik dari fenomena ini. Anak- anak muda bersaing untuk saling terlihat berbeda dengan yang lain. Semakin mengetahui lagu- lagu lawas tahun 80an, kesannya semakin keren. Tidak hanya lagu Sakura-nya Faris RM atau Hip Hip Hura-nya Chrisye saja yang didengarkan, namun juga lagu- lagu lainnya dari album Guruh Gypsy, Chaseiro, Heidy Diana, Utha Likumahuwa, dan penyanyi- penyanyi pop lain yang kondang pada masanya.


Menurut saya fenomena ini bisa menjadi budaya yang bisa terus dilestarikan. Karena, dengan adanya pemutaran kembali lagu- lagu Indonesia di tahun 80an akan membentuk suatu sikap dari anak muda Indonesia untuk terus mengapresiasi musik anak negeri.

11 views0 comments

Comments


bottom of page