top of page

Voice of Baceprot, Berdiri Melawan Stereotype

Simak bagaimana Voice of Baceprot menceritakan pengalaman mereka melawan konservatisme di tempat asal mereka


Tiga gadis remaja terlihat begitu mantap beraksi diatas panggung kala itu. Tidak ragu, salah satu diantaranya berjalan menuju microphone dengan kegelisahan besar yang menjadi momok mereka. Dengan gitar yang digendong, ia bersama dua temannya dengan lantang meneriakkan kritikan mereka tentang kehidupan.


Mungkin tidak akan ada yang menyangka bahwa kelompok ini adalah kelompok musik dengan aliran keras terlebih ketika melihat outfit yang mereka pakai. Voice of Baceprot alias VoB yang beranggotakan tiga orang remaja perempuan berasal dari kabupaten Garut, Jawa Barat. Unik, lagu- lagu yang mereka mainkan cenderung hardcore dan heavy metal, dengan penampilan mereka sebagai hijabers.


(Dari kiri ke kanan : Euis, Siti, Firdha)


Malam itu (20/10/2019), gadis-gadis yang baru saja lulus dari sekolah menengah kejuruan itu berkesempatan menjadi pengisi acara di sebuah acara besar kesenian di Yogyakarta, Pameran Biennale Yogyakarta. Mereka adalah Firdha (vokal), Euis (bass), dan Siti (drum). Kami bertemu di Posh In Hotel, sebelum mereka pergi ke panggung Biennale Yogyakarta sebagai bintang tamu utama pembuka acara hajatan seni terbesar se-Yogyakarta itu.


“Kenapa, ya, orang bisa takut dengan setan,” serunya dengan majas retoris selaras dengan mimik muka ketidakpercayaan. “Padahal mah, setannya ada di dalam diri orang-orang,” tambahnya dengan nada berbisik diikuti riuh teriakan penonton. “Iya, setan ada di dalam diri orang-orang yang masih suka iri dan dengki terhadap orang lain. Ini dia, Psychosocial,” tepuk tangan penonton seolah menggema meski dalam panggung terbuka, mengiringi teriakan lantangnya membawakan lagu dari Slipknot tersebut.




Penonton bersorak riuh. Tidak hanya penggemarnya saja. Para turis asing pengunjung Biennale kagum dengan penampilan mereka, dan juga ikut headbang bersama para penggemar.


VoB menceritakan juga pengalaman mereka sebagai anak gadis yang dicap tidak baik karena kerap pulang sore hari. “Udah mah nggak bener pasti begitu, pulang sore dan sebagainya,” ungkap Firdha menirukan bagaimana orang tuanya dulu menentang band Voice of Baceprot.


Terlebih di tempat tinggal mereka, Garut, ketika ada perempuan yang pulang sore akan dicap sebagai perempuan yang tidak baik. Mengingat Garut memiliki imej sebagai kabupaten yang agamis dengan kepercayaan mistisisme yang masih kental. “Padahal teh kami latihan band. Tapi kami jalan terus. Syukurnya bisa membuktikan apa yang mereka katakana itu nggak sepenuhnya benar. Eh, mereka bangga sekarang,” sambung Firdha.



Tidak hanya penampilan mereka yang berbeda, Voice of Baceprot pun menjadi salah satu performer musik yang berani dalam mengkritik sosial politik lewat karya-karyanya. Hal ini tidak banyak dilakukan oleh para pemain band di usianya.


Melalui lagu School Revolution yang viral hingga media asing beberapa waktu yang lalu, mereka mengkritisi sistem pendidikan yang mereka rasakan. Mereka menilai bahwa sebagai seseorang siswa, mereka ingin memaksimalkan hak dan garis hidup siswa melalui ilmu yang mereka dapatkan di lembaga pendidikan.


Tidak hanya School Revolution, mereka juga aktif dalam menyuarakan pendapat saat RUU Permusikan dan RKUHP sedang dibahas untuk segera disahkan. “Kami berkarya lewat musik. Musik, kan, seni dan seharusnya tidak boleh ada aturan yang riweh. Bagaimana kemudian kami berkarya?” ucap drummer Voice of Baceprot, Siti.





Setiap hal tidak akan pernah mudah dilakukan, Euis, Siti, dan Firdha, sangat setuju dengan hal tersebut. “Yang penting kami mencoba dulu menyuarakan pendapat dan kritik kami lewat karya. Didengar atau tidak, ya sudah. Yang penting kami udah plong, hehehe,” ujar Firdha dengan senyum khasnya.


Mereka berpesan untuk teman-teman seusia mereka agar tidak takut menghadapi apapun. “Jangan takut melakukan hal yang dianggap berbeda. Hal yang terpenting tidak melakukan hal yang salah dan tidak menyakiti siapa pun,” ungkap Siti.

5 views0 comments

Commentaires


bottom of page